Peristiwa Rengasdengklok
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Kamar peristirahatan
Bung Karno di rumah Djiaw Kie Siong.
Peristiwa
Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh
sejumlah pemuda (a.l.) Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari
perkumpulan "Menteng 31"
terhadap Soekarno dan Hatta.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno
dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan
antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang
kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Menghadapi
desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara
itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut
kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena
tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada
hari Jumat, 17 Agustus 1945
di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah
Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung Karno karena di
lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan,
sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari
kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi,
dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi
disusun di Jakarta, bukan di Rengasdengklok, bukan di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong yang diusir dari rumahnya oleh
anggota PETA agar dapat ditempati oleh "rombongan dari Jakarta".
Naskah teks proklamasi di susun di rumah Laksamana Muda Maeda di Jakarta, bukan
di Rengasdengklok. Bendera Merah Putih
sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi
kemerdekaan Indonesia.
Karena tidak
mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf
Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di
Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad
Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta
berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan
harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945
pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks
proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang
"dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala
Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr.
Hermann Kandeler.[1]
Latar belakang
Pada waktu itu
Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan
melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar
proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan
buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar
Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda
khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan
bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
Sebelumnya
golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga
bakteriologi di Pegangsaan
Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar
pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji
kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada
malam harinya tetapi ditolak Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai
ketua PPKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar